Kepala kambing itu ditombak, dipersembahkan untuk setan -sebuah tradisi lama yang telah dikubur oleh Ulama dan Habib Sayyid Idrus bin Salim al-Jufry yang namanya diabadikan menjadi nama airport- dihidupkan kembali.
Ketika tombak mengena kepala kambing, air laut itu pun naik, semua yang dipentas itu habis. Jembatan baja, remuk. Hotel kokoh, ditelan tanah. Gedung-gedung rata.
"Kenapa bapak selamat?", tanya saya.
"Undanganku (untuk menghadiri acara itu) hilang".
"APBD Sulteng itu 1T. Yang diluluh-lantakkan tsunami itu 24T. Hancur dalam 34 detik," kata sahabat lama saya.
"Ayah, saya Khatam Quran, saya ingin makan Nasi Padang," pesan permintaan anak.
Menjelang Maghrib, ayah pun pergi membelikan nasi padang. Ketika sampai di rumah, kata Ibu, "Tolong beli air galon, habis." Lalu ayah pergi membeli air galon.
Pulang dari warung, rumah sudah masuk ke dalam tanah, terdengar suara anak menjerit, "Ayah, saya mendengar suara ayah, melihat cahaya senter ayah, tapi air sudah masuk, sedikit lagi leherku tenggelam," spontan sang ayah berucap, "Ikuti kata-kata Ayah:
لا اله الا الله"
Kalimat terakhir yang ayah dengar dari celah reruntuhan itu adalah kalimat tauhid dari seorang anak sholih.
Bapak, berat ujian imanmu. Dulu ketika ia baru lahir, engkau yang membisikkan Lailahaillallah. Ternyata, saat ia akan meninggalkan alam ini, engkau jua yang membisikkan kalimat yang sama.
Lebih 10 meter tanah itu runtuh ke bawah, lebih 40 hektare rata dengan tanah.
"Kenapa ada bendera-bendera di atas tanah itu Ustadz?, tanya saya.
"Di bawah bendera-bendera itu jenazah yang masih tertinggal", jawab Ustadz Munif, sahabat saya di Mesir dulu.
Seorang anak, umur 5 tahun, tinggal sebatang kara. Ayah, ibu, saudara, semuanya wafat. Setetes pun air mata tak meleleh di pipinya.
Orang-orang bertanya, "Mengapa kamu tidak menangis?" Dia menjawab, "Tuhan marah kalau kita nangis"
(Insya Allah laporan penyaluran donasi akan kami sampaikan di postingan berikutnya)
Palu, Donggala, Sigi
29 Safar 1440
07 November 2018